Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Ahlan wa Sahlan ya Akhi, ya Ukhti

Gelap

Written By Rizky Priyatna on Sabtu, 13 Agustus 2011 | 22.58


Aku suka gelap, entah mengapa. Kegelapan itu begitu indah bagiku, meskipun kadang selalu mengingatkanku pada kejadian itu. Kejadian dimana hidupku semakin gelap dengan kegelapan yang ada dan semakin mengancam.

Ibu dan ayahku terbujur kaku, semua diam, hanya sorot cahaya itu yang menyilaukan.

Aku benci cahaya, karena cahaya telah merusak segalanya. Segala kebahagiaanku, tawaku, candaku, dan harapku, bersama ayah ibuku.

Diremang gelap kami berjalan, beriringan sambil bergandengan tangan. Ayah disebelah kanan, ibuku disebelah kiriku, mereka memegang tanganku hangat. Aku suka gelap, entah mengapa. Karena kurasakan kehangatan diremang bersamanya.

Aku lihat ayah, mukanya begitu bersahaja, seperti hidupnya.
Aku lihat disebelah kiriku, seorang ibu yang mengasihiku.
Mereka berdua tersenyum kepadaku, aku menundukkan kepala, aku takut, bila terang nanti semua berubah.

Malam itu listrik padam, aku bersama ibu baru pulang dari rumah Ida—dia sepupuku.
Dua jam kemudian ayah datang menjemput kami. Aku selalu ingat suara langkah ayah, dengan sepatu pantofel usangnya.
Drap..drap..drap..begitu jelas terdengar suaranya dari balik pintu, aku tak bisa mengintip karena pintu ta berkaca, namun aku tahu ia dibalik sana.

Ayah memelukku seketika, dan diciumnya keningku penuh mesra. Di gendong pula aku dalam dekap dadanya. Semua begitu hangat, di riapnya cahaya lilin-lilin kecil itu.

“Ayah kita langsung pulang?”
“Iya, kita langsung pulang ke rumah”
”Ayah tak membelikanku es krim?”
“Nanti saja di warung dekat rumah“
“Aku ingin yang ada di dekat rumah nenek“
“Kalo yang didekat rumah nenek besok saja, sepulang sekolah“

Aku terdiam, ayah tersenyum padaku sambil memegang tanganku dan kami berjalan menikmati gelap malam.
Kata Bu Annisa—guru TK-ku—hari ini tanggal ke 14 bulan Jumadil Awal, itu berarti bulan sedang tersenyum penuh di langit. Aku memandangnya—terus memandangnya.

“Ayah, Allah punya lampu besar yang ditaro di langit buat nuntun kita pulang, lampu besar itu nerangin jalan kita, Yah”

Ayah sekarang menggendongku di atas pundaknya, aku semakin jelas memandang lampu langit itu. Ibu berjalan di samping ayah dengan penuh setia.

Aku suka gelap, entah mengapa. Karena aku bisa merasakan hangatnya kasih sayang ibu dan ayah. Jalanan setapak ini bagai taman surga bagiku, setiap langkahnya mempunyai derap kebahagiaan. Aku bisa memegang kepala ayahku sambil bertengger di pundaknya dan menatap langit sesukaku. Bila aku bosan, aku tinggal berpindah ke peluk ibu yang hangat dan syahdu.

Dalam peluknya aku bermimpi, di sebuah tanah lapang yang hijau ayah dan ibu memanggilku. Mereka ak menghampiriku, mereka hanya memanggilku. Aku berlari sekuat tenaga mengahmpiri senyum mereka. Namun, saat ingn kupeluk, mereka sirna.

”Jadi beli es krim?”

Tanya ayah membangunkan dari mimpiku. Aku mengangguk saja, dan masih di hangatnya dekapan ibu.
Kami menyeberang jalan, karena memang toko tempat es krim itu di seberang jalan.

”Aku mau yang vanilla, ayah coklat yaa, ibu yang stroberi”

Es krim itu dimasukan ke tas kecilku yang sekarang dibawa ayah.
Aku suka gelap, entah mengapa. Karena aku bisa melihat wajah ibu dan ayah tersenyum padaku secara bersamaan.

Saat menyeberang jalan, cahaya itu muncul, begitu menyilaukan. Yang kutahu hanya ada teriakan, jeritan, dan klakson yang memekakkan telinga.
Ibu masih memelukku, bahkan semakin erat, aku terpejam saja, agar tak lihat sinar itu.

Aku berguling di pelukan ibu, sesaat kemudian semua senyap, semua hening, semua diam, hanya sorot lampu yang menyilaukan itu.

”Ibu..ibuuu...bangun ibu, ayah dimana? Ayo kita pulang..ibuuuu”

Ibu diam saja, kerudung putihnya mendadak ada bercak merah, yang kian lama kian membasah. Tanganku tersa perih, tapi aku tak menghiraukannya.

“Ayaaaahh…ayaaahhh dimanaa?”

Teriakanku tak bersahut, aku lihat seseorang tergeletak di pinngir jalan, aku mengenali kemeja itu, aku mengenali pantofe usang itu. Aku hampiri perlan.

“Ayah bangun, Ayah. Ibu tak bisa bangun disana, ayah.”

Ayah diam, tak bergeming, bibirnya memerah pekat, kemejanya ada bercak merah dimana-mana. Tanganku makin perih, ada yang menetes dari tanganku.
Ku peluk ayah, kubelai rambutnya, Namur ia tetap tak bergerak.

Ku hampiri ibu, kupeluk ia, saat kupegang kerudungnya, warnanya langsung berubah memerah. Tanganku banyak mengeluarkan darah, lalu aku tertidur di samping ayah dan ibu, di silaunya cahaya itu.

Aku suka gelap, entah mengapa. Saat kupejamkan mata, semua kembali gelap. Aku dapat melihat ayah dan ibu, mereka tersenyum padaku, namun tak menghampiriku, mereka hanya memanggilku.
Aku menghampirinya perlahan sambil berlinang air mata. Ayah dan ibu tersenyum.

Sesaat kemudian ibu memelukku dan ayah mencium keningku.

”kenapa tadi ayah tidak bangun saat kubngunkan?”
”kenapa ibu juga begitu?”
”kita pulang ke rumah kan? Lalu menikmati es krim bersama??”
“Aku tak suka es krim di seberang jalan itu ibu, aku ingin yang di rumah nenek“

Ayah dan ibu hanya tersenyum.

”Ayah dan ibu akan beristirahat sejenak, Nak. Nanti kita bertemu lagi, di sana. Di Tempat-Nya. Susullah kami dengan amal baikmu”

Aku tak mengerti dengan apa yang ayah katakan, namun aku tetap mengingat perkataannya. Lalu ayah menggendongku. Di ciumnya lagi keningku.
Dan ibu kini memelukku dengan hangat. Di pelukannya aku dengar ucapan ibu.

”Mungkin kami akan mengunjungimu, Nak. Di dalam gelap. Jadilah anak yang berguna, tuntutlah ilmu agama, agar doamu kela akan mempertemukan kita, tirulah bulan itu, Nak. Seperti lampu besar yang selalu menerangi jalan dikala gelap”

Aku pun tak mengerti perkataan ibu, aku hanya mengingatnya.

Saat mereka memandangku bersama sambil tersenyum, dan saat aku ingin memeluk mereka. Semua lenyap, semua hilang.

Dan aku terbangun di tempat yang sangat terang.
Aku lihat semua orang memandangku dan setelah itu menciumku.
Aku lihat Bibi, paman, tetanggaku. Bahkan aku melihat Ida sepupuku. Sedang apa mereka disini? Mengapa air muka mereka begitu khawatir. Dan, mengapa tangan kiriku terbalut perban putih. Aku bingung.

Aku pejamkan mataku, dan aku ingat kembali perkataan ayah ibuku. Benar, mereka mengunjungiku dalam gelap, di hari yang semakin di terangi cahaya ilahi.

****

Sampai 15 tahun setelah kejadian itu, aku akan terus memaknai perkataan ayah ibu. Untuk belajar ilmu agama, lalu mendoakannya. Agar nanti dipertemukan kembali di surga-Nya.

Saat aku rindu mereka, aku tinggal memejamkan mata, dan bayangan mereka hadir dengan senyum.
Aku maknai kata-katanya sambil memakan es krim yang kubeli dari warung dekat rumah nenek, yang tak sempat ayah belikan untukku.

Aku suka gelap, entah mengapa. Karena aku dapat mengingat sesuatu yang indah dari gelap.

Aku tak suka gulita, entah mengapa. Karena menurutku, gelap itu akan berubah cahaya. Sedang gulita terlalu pekat gelapnya.

Dan sekarang aku mencoba bersahabat dengan cahaya, agar tetap seimbang adanya.



by Moedja Adzim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar