Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Ahlan wa Sahlan ya Akhi, ya Ukhti
Tampilkan postingan dengan label Tarbiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tarbiyah. Tampilkan semua postingan

SALAH! ARTI 'MINAL AIDIN WAL FAIZIN' = MOHON MAAF LAHIR-BATIN

Written By Rizky Priyatna on Senin, 29 Agustus 2011 | 19.53


Cuma di Indonesia, Minal Aidin wal Faizin artinya Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Gara-gara lagu "Minal Aidin wal Faizin...maafkan lahir dan batin. Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin" rakyat Indonesia mengira itulah arti sebenarnya.

Sehingga ketika Idul Fitri, ada yang mengucapkan "Minal Aidin wal Faizin.." jawabnya "Sama-sama...maafin saya juga ya..."

Sahabat.....

Ucapan tersebut tidak ragu lagi telah ikut memeriahkan suasana Idul Fitri di setiap tahunnya, tapi tahukah dari mana asalnya kata ini?

Orang mengucapkan dua frase ini biasanya sambil menyorongkan tangan untuk bersalaman. SMS pun akan banyak mengutip frase ini. Bahkan iklan di media cetak dan televisi juga menampilkan rangkaian kata ini. Seringkali pula tulisan berhuruf latin ini dibikin sedemikian rupa sehingga menyerupai kaligrafi huruf Arab. Bahkan yang lebih parah, sebagian aktivis dakwah yg bermodal semangat dan organisasi Islam serta yang diklaim"partai Islami" ikut-ikutan mengucapkan kalimat ini.

Tapi, tahukah kita bahwa frase “Minal Aidin Wal Faizin” itu tidak dikenal dalam budaya Arab (terlebih lagi dalam Islam)?

Dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frase Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.” Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frase Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frase ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam konteks kata per kata.

Lalu, apa arti Minal Aidin Wal Faizin? Terjemahan frase ini adalah: dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Mungkin maksud lengkapnya adalah: ”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Allah) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).”

Adalah kesalahan besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “mohon maaf lahir dan batin”

Sudahkah kita mengucapkannya dengan dengan Ilmu, atau hanya ikut-ikutan? Mungkin pertanyaan ini yang ingin saya garis bawahi dicatatan terakhir sesi Ramadhan ini setelah notes kemarin berdebat tentang "Kapan Lebaran?"

Mari kita lihat dengan seksama, dari mana kata ini berawal. Mari kita telaah bersama beberapa riwayat yang telah menyinggung tata cara ucapan selamat di hari raya ini.

Jubair bin Nufair berkata:

“Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.

{Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [2/446] Dalam 'Al Mahamiliyat' dengan Isnad yang Hasan}

Muhammad bin Ziyad berkata:

“Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Ied berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : 'Taqabbalallahu minnaa wa minka” {Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” [2/259]}

Imam Ahmad menyatakan bahwa ini adalah Isnad hadits Abu Umamah yang Jayyid/Baik.

Beliau menambahkan: “Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.”

{Al Jauharun Naqi 3/320. Suyuthi dalam 'Al-Hawi: [1/81] : Isnadnya hasan}

Nah, Sahabat..

Lalu kenapa Minal Aidin Wal Faizin?

Pada perkembangannya, berjuta juta masyarakat Indonesia dan media media televisi sering mendengar kata ini digandengkan dengan kata 'Mohon maaf lahir batin'..

Sehingga kurang lebih diucapkan seperti kalimat berikut:

“MINAL AIDIN WAL FAIZIN - MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN”,

Sehingga lahirlah kesan bahwa "Minal Aidin Wal Faizin" itu berarti "Mohon Maaf Lahir dan Batin.."

Benarkah begitu?

Mari kita perhatikan dan analisa bersama.

Jika dua frase itu diartikan secara menyeluruh, dalam bahasa indonesia yang benar artinya adalah:

“Termasuk dari orang orang yang kembali sebagai orang yang menang - Mohon maaf lahir dan batin”.

Sebuah kalimat yang tidak utuh.

Karena dengan demikian, artinya tidak jelas.

Dibilang do'a bukan (karena tidak lengkap) dan dibilang salam juga bukan...

Lucu bukan?

Mari kita perhatikan penerjemahan makna kalimat Minal Aidin Wal Faizin dalam bahasa Arab berikut:

Min, artinya “Termasuk”.

Al-aidin, artinya ”Orang-orang yang kembali”

Wa, artinya “Dan”

Al-faizin, artinya “Menang”.

Jadi makna "Minal Aidin Wal Faizin" jika dipaksakan artinya, kedalam kaidah bahasa Arab - Indonesia yang benar adalah “Termasuk dari orang-orang yang kembali (dari perjuangan ramadhan) sebagai orang yang menang”.

Artinya mengambang bukan?

Nah lalu apa solusi dari kurangnya pemahaman bahasa di atas ?

Ini untuk menambah khasanah ilmu kita saja. Jangan sampai diketawain orang Arab.

Dalam keseharian orang-orang Arab yang saya temui, salam yang mereka ucapkan di hari raya ini adalah "Kullu aam wa antum bikhair" (Semoga kebaikan menyertaimu sepanjang tahun) atau sesekali terdengar kalimat "Taqabbalallahu minna waminkum"

Kalimat "Taqabbalallahu minna wa minkum" ini memang kalimat terbaik yang dicontohkan oleh Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian ucapan ini ditambahkan oleh para sahabat dengan kata-kata "Shiyamana wa Shiyamakum", yang artinya puasaku dan puasamu, sehingga kalimat lengkapnya menjadi: "Taqabbalallahuminna wa minkum, Shiyamana wa Shiyamakum".

Semoga kalimat minal aidzin wal faidzin ini tidak termasuk bid'ah. Jika kita berniat ingin saling mendoakan sesama saudara seiman dengan motivasi mengucapkan kata tersebut untuk sebuah doa dan ucapan selamat maka tidak ada keharaman, Insya Allah.

Tapi selayaknyalah sebagai muslim yang terpelajar, kita seharusnya mengucapkan segala sesuatu itu dengan ilmunya. Agar ketika nanti ucapan itu ditiru akan menjadi kebaikan, bukan sesuatu yang tidak ada contohnya apalagi artinya mengambang.

Jikapun lidah kita telah latah dengan kalimat itu, dan ingin tetap mengucapkan "Minal Aidin" maka lebih baik jika kalimatnya diserasikan.

"Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum.

Ja’alanallaahu minal aidin wal faizin”

Artinya: “Semoga Allah menerima amal-amal kami dan kamu, puasa kami dan kamu. Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk dari orang-orang yang kembali (dari perjuangan Ramadhan) sebagai orang yang menang.”

Ja’alanallaahu berarti "Semoga Allah menjadikan kita".. sebagai tambahan untuk melengkapi, Minal aidin wal faizin yang mengambang tadi..

Sekedar tambahan, bagaimana jika kita ingin mengucapkan “mohon maaf lahir dan batin” dalam bahasa Arab yang benar?

Salah satunya adalah “Asalukal afwan zahiran wa bathinan”.

Sekali lagi bukan Minal Aidin wal Faizin, karena kata ini bukan berarti kalimat permintaan maaf. Mungkin hanya sebuah do'a yang tidak utuh.

Sama saja dengan arti kata Lebaran yang cuma ada di Indonesia, artinya dari uang yang di lebar-lebarkan alias dihambur-hamburkan.

Demikian, mohon koreksinya jika saya salah.

Akhir kata..

Dengan ini saya pribadi, ingin mengucapkan:

Selamat menyongsong hari raya Idul Fitri 1432 Hijriyah.

”Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum. Ja’alanallahu minal aidin wal faizin”

“Semoga Allah menerima amal-amal kita, Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk dari orang-orang yang kembali dari perjuangan Ramadhan sebagai orang yang menang.”

Mari kita juga memohon kepada Dzat Allah Azza wa jalla,

Semoga kita dianugerahi untuk menikmati Ramadhan tahun tahun berikutnya dengan rizki dan kebarokahannya. Amiin..


amalia Sekar Wulan

19.53 | 1 komentar

Rajab Bulan Haram

Written By Rizky Priyatna on Rabu, 27 Juli 2011 | 03.48


Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At Taubah: 36)

Yang dimaksud dengan empat bulan haram pada ayat ini adalah:

1. Bulan Dzul Qa’dah
2. Bulan Dzul Hijjah
3. Bulan Muharam
4. Bulan Rajab

Hadits Nabi menyebutkan 4 bulan ini dengan istilah tsalatsatun mutawaliyat (tiga bulan berturut-turut) dan bulan Rajab Mudhor[1].

Sebagian ulama’ mengistilahkannya: tsalatsatun sard (tiga bulan berturut-turut) wa wahidun fard (satu bulan sendirian, yaitu bulan Rajab.

Empat bulan ini disebut haram karena pada empat bulan ini diharamkan berperang[2], dan ini adalah ajaran yang telah ada semenjak Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il – ‘alaihimas-salam -.

Dan hal ini masih terus dipelihara oleh bangsa Arab sampai masa diutusnya Nabi Muhammad SAW menjadi seorang nabi dan rasul.

Di buku-buku tafsir dan sejarah diceritakan bahwa karena ketaatan bangsa Arab terhadap ajaran ini, sampai-sampai, seandainya ada seseorang yang bertemu dengan pembunuh orang tuanya, atau saudaranya atau sanak familinya pada bulan-bulan ini, maka pertemuan ini tidak sampai menggerakkannya untuk melakukan tindakan balas dendam, padahal orang Arab pada zaman itu terkenal sangat pendendam.

Taujih Rabbani Terkait 4 Bulan Haram

Ada tiga taujih Rabbani terkait dengan empat bulan haram ini, yaitu:

1. Fala tazhlimu fihinna anfusakum. Singkatnya, pada empat bulan ini, orang-orang yang beriman dilarang menzhalimi diri sendiri.

2. Waqatilul musyrikina kaffatan kama yuqatilunakmu kaffah. Maksudnya, kaum muslimin tidak boleh kehilangan kewaspadaannya dalam empat bulan ini, sebab bisa saja ada pihak-pihak yang tidak mengindahkan larangan berperang ini, lalu mereka menyerang kaum muslimin. Jika hal ini terjadi, kaum muslimin dibenarkan melakukan peperangan untuk membela diri.

3. Wa’lamu annaLlaha ma’al muttaqin. Maksudnya adalah bahwa kaum muslimin hendaklah terus menjaga dan meningkatkan ketaqwaannya agar tetap mendapatkan ma’iyyatuLlah (kebersamaan Allah SWT).

Maksud Menzhalimi Diri Sendiri

Yang dimaksud dengan menzhalimi diri sendiri yang dilarang oleh Allah SWT pada ayat ini adalah:

a. Tidak melakukan perbuatan baik, padahal peluang dan kesempatan terbuka baginya, dan atau

b. Melakukan perbuatan buruk, walaupun dengan alasan ada peluang dan kesempatan sekalipun, terlebih lagi jika untuk melakukan keburukan seseorang sampai ke tingkat “mengorbankan” harta, jiwa dan nyawa.

Menzhalimi Diri Sendiri Berlaku Sepanjang Tahun

Sebenarnya tindakan menzhalimi diri sendiri dilarang oleh Allah SWT sepanjang tahun.

Adapun adanya pelarangan perbuatan ini dalam empat bulan ini bersifat pengukuhan dan penegasan. Seakan-akan Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu melakukan perbuatan menzhalimi diri sendiri kapan saja sepanjang tahun, terlebih lagi pada empat bulan haram”.

Kaum Muslimin Mesti Bersatu, Khususnya Saat Menghadapi Keculasan Musuh

Pada taujih Allah SWT yang kedua dijelaskan bahwa kaum muslimin tidak boleh kehilangan kewaspadaannya, sebab bisa jadi ada musuh yang menyerang kaum muslimin pada empat bulan haram.

Dan jika kaum muslimin diperangi oleh musuh pada empat bulan haram, maka kaum muslimin berkewajiban untuk memerangi dan melawan mereka sebagai bentuk bela diri.

Dan dalam hal ini, Allah SWT memerintahkan kepada kaum muslimin agar dalam menghadapi musuh itu mereka bersatu dan tidak berpecah belah. Istilahnya “kaffatan”. Sebab para musuh pun dalam memerangi kaum muslimin juga bersatu dan beraliansi. Mereka bersepakat untuk menjadikan kaum muslimin sebagai common enemy atau musuh bersama bagi mereka.

Hal ini memberi pengajaran bahwa kaum muslimin diperintahkan untuk terus menjaga dan meningkatkan persatuan dan kesatuan mereka, serta dilarang berpecah belah, khususnya di saat mereka sedang berperang, lebih khusus lagi di saat kaum muslimin diserang, dan lebih-lebih khusus lagi, mereka diperintahkan untuk menjaga dan meningkatkan persatuan dan kesatuan mereka di saat mereka berada di empat bulan haram. Istilah lainnya, mereka diperintahkan untuk terus melakukan konsolidasi, koordinasi dan merapatkan barisan, khususnya pada empat bulan haram ini.

Di antara wujud persatuan adalah ‘adam at-takhadzul (tidak dibenarkan saling membiarkan saudaranya diperangi musuh tanpa memberikan pertolongan, pembelaan dan dukungan apa pun)[3].

Ma’iyyatullah (Kebersamaan Allah SWT)

Pada taujih Rabbani yang ketiga dijelaskan bahwa jika kaum muslimin terus menjaga, memelihara dan meningkatkan ketaqwaan mereka kepada Allah SWT, sehingga sifat taqwa itu telah melekat kepada mereka, dan karenanya mereka disebut muttaqin, maka mereka akan mendapatkan ma’iyyatullah (kebersamaan Allah SWT)

Yang dimaksud “kebersamaan” di sini adalah kebersamaan atau ma’iyyatullah yang bersifat khusus, dalam arti Allah SWT akan mendukung mereka, membela dan memberi kemenangan kepada mereka dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Sebagaimana ma’iyyatullah kepada nabi Musa AS, sebagaimana diceritakan dalam Q.S. … ayat … dan sebagaimana ma’iyyatullah kepada Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA saat keduanya berada di dalam gua Tsur, sebagaimana diceritakan dalam Q.S. At-Taubah:

Haji Dan Puasa Ramadhan

Para ulama’ menjelaskan bahwa ditetapkannya bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram sebagai tiga bulan haram adalah karena adanya momentum ibadah haji. Sedangkan ditetapkannya bulan Rajab sebagai satu bulan haram adalah karena momentum menyambut bulan suci Ramadhan.

Kenapa momentum menyambut bulan suci Ramadhan tidak pada bulan Sya’ban saja yang merupakan satu bulan sebelum Ramadhan?

Wallahu a’lam, dimungkinkan karena bulan Sya’ban dipergunakan untuk “menutup” celah-celah dan kekurangan-kekurangan terkait dengan melemahnya komitmen seseorang pada bulan-bulan setelah Syawal sampai bulan Rajab, dimana sekiranya momentum penyambutan itu ditempatkan pada bulan Sya’ban, maka tidak ada waktu atau kesempatan lagi untuk “melunasi” kelemahan komitmen pada-pada bulan-bulan sebelumnya. Dengan demikian, maka pengingatan akan datangnya bulan suci Ramadhan dilakukan pada bulan Rajab, sedangkan bulan Sya’ban dipergunakan untuk “melunasi” kelemahan komitmen pada bulan-bulan lainnya.

Catatan kaki:

[1] Hadits muttafaqun ‘alaih, lihat Bukhari [4406] dan Muslim [1679].

[2] Penegasan ini juga ada dalam hadits muttafaqun ‘alaih sebagaimana disebut dalam catatan kaki sebelumnya.

[3] Abu Zahrah, zahratut-tafasir, juz. VI, hal. 3300

03.48 | 0 komentar

Tawazun

Written By Rizky Priyatna on Minggu, 26 Juni 2011 | 03.57


Makna dan Hakekat tawazun

Tawazun artinya keseimbangan. Sebagaimana Allah telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan (67: 3).

Manusia dan agama lslam kedua-duanya merupakan ciptaan Allah yang sesuai dengan fitrah Allah. Mustahil Allah menciptakan agama lslam untuk manusia yang tidak sesuai (30: 30). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa manusia itu diciptakan sesuai dengan fitrah Allah yaitu memiliki naluri beragama (agama tauhid: Al-Islam) dan Allah menghendaki manusia untuk tetap dalam fitrah itu. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, itu hanyalah karena pengaruh lingkungan (Hadits: Setiap bayi terlahir daIam keadaan fitrah (Islam) orang tuanyalah yang menjadikan ia sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi)

Sesuai dengan fitrah Allah, manusia memiliki 3 potensi, yaitu Al-Jasad (Jasmani), Al-Aql (akal) dan Ar-Ruh (rohani). Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang). Perintah untuk menegakkan neraca keseimbangan ini dapat dilihat pada QS. 55: 7-9.

Ketiga potensi ini membutuhkan makanannya masing-masing. :

1. Jasmani.
Mu’min yang kuat itu lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim). Kebutuhannya adalah makanan, yaitu makanan yang halaalan thayyiban (halal dan baik) [80:24, 2:168], beristiharat [78:9], kebutuhan biologis [30: 20-21] & hal-hal lain yang menjadikan jasmani kuat.

2. Akal
Yang membedakan manusia dengan hewan adalah akalya. Akal pulalah yang menjadikan manusia lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan akal manusia mampu mengenal hakikat sesuatu, mencegahnya dari kejahatan dan perbuatan jelek. Membantunya dalam memanfaatkan kekayaan alam yang oleh Allah diperuntukkan baginya
supaya manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifatullah fil-ardh (wakil Allah di atas bumi) [2:30, 33:72]. Kebutuhan akal adalah ilmu [3:190] untuk pemenuhan sarana kehidupannya.

3. Ruh (hati)
Kebutuhannya adalah dzikrullah [13:28, 62:9-10]. Pemenuhan kebutuhan rohani sangat penting, agar roh/jiwa tetap memiliki semangat hidup, tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepadanya.

Dengan keseimbangan manusia dapat meraih kebahagian hakiki yang merupakan nikmat Allah. Karena pelaksanaan syariah sesuai dengan fitrahnya. Untuk skala umat, ke-tawazunan akan menempatkan umat lslam menjadi umat pertengahan/ ummatan wasathon [2:143]. Kebahagiaan itu dapat berupa:
- Kebahagiaan bathin/jiwa, dalam Bentuk ketenangan jiwa [13:28]
- Kebahagian zhahir/gerak, dalam Bentuk kestabilan, ketenangan beribadah, bekerja dan aktivitas lainnya.
Dengan menyeimbangkan dirinya maka manusia tersebut tergolong sebagai hamba yang pandai mensyukuri nikmat Allah. Dialah yang disebut manusia seutuhnya.

Contoh-contoh manusia yang tidak tawazun
• Manusia Atheis: tidak mengakui Allah, hanya bersandar pada akal (rasio sebagai dasar) .
• Manusia Materialis: mementingkan masalah jasmani / materi saja.
• Manusia Pantheis (Kebatinan): bersandar pada hati/ batinnya saja.

REFERENSI
• Al-Qadiry , Seimbanglah dalam Beragama, Jakarta:GIP
• Silabus Materi Tarbiyah th 1994/1995
03.57 | 0 komentar