Kisah ini bermula dari wafatnya nenekku, ibu dari ayahku. Ia sesungguhnya wanita yang baik kepada keluarga, banyak yang menyaksikan hal ini, dan Allah menjadi saksi atas apa yang aku ucapkan. Ketika nenekku berbaring sakit pada detik-detik terakhir kehidupannya, ia menolak siapapun yang duduk di sampingnya -termasuk anak-anaknya-, kecuali ibuku. Padahal ibuku penganut Nasrani. Dia duduk di dekat nenekku seraya memegang tangannya, ibuku tidak diterima oleh keluarga bapakku karena ia non muslim.
Yang mengherankan, ayahku tergolong orang yang sangat kuat komitmennya dengan Islam. Akan tetapi ia tidak memaksakan kepada istrinya untuk meninggalkan agamanya dan agama kedua orang tuanya. Sebelum ia berusaha meyakinkannya dengan dinul Islam. Tentu saja ayahku sangat kaget dengan sikap nenekku terhadap ibuku, lalu ayah berusaha untuk bertanya kepada seorang tokoh agama tentang sikap ibunya tersebut. Setelah diceritakan segalanya, tokoh agama tersebut menjelaskan bahwa sikap tersebut menunjukkan kebiasaan orang-orang saleh sebelum wafatnya, yang ingin menyerahkan wasiat kebajikan kepada seseorang yang pantas menerimanya dengan memegang tangannya dan menjabatnya dengan erat, namun bagaimana jika wewenang tersebut diberikan kepada wanita non muslim seperti ibuku.
Ternyata wasiat kebaikan itu perlahan-lahan tampak dari raut wajah ibuku dan perilakunya. Pada hari ketiga kematian nenekku, ibu berbicara kepada ayah seraya meminta kepadanya untuk pergi ke pengadilan agar status agamanya dirubah secara resmi dan memiliki legalitas hukum. Ya, ibuku telah menyatakan keislamannya. Terus terang semula ayahku tidak mempercayainya, lalu aku berbicara empat mata dengan ibuku dan menanyakan kepadanya mungkin ada yang memaksanya, karena aku tidak ingin ibuku menjadi lemah keislamannya karena dipaksa. Aku ingin keislaman yang kuat dan sempurna, tetapi ternyata aku dapati ibuku memiliki potensi keimanan yang cukup besar, karena ketika kecil ibuku selalu melatihku hafalan Al-Qur’an juz 30. Ibuku ingin sekali dapat membacanya kembali menikmatinya dan menghafalnya, ia mulai merasakan manisnya Al-Qur’an. Hatinya telah dilembutkan oleh Al-Qur’an, ia telah berhasil menghafal surat Al-Baqarah, bahkan sampai ke surat Yusuf, dan hafalannya terus bertambah, semakin tambah hafalannya, semakin bertambah keimanannya.
Akan tetapi di suatu pagi, setelah bangun dari tidurnya, ibuku mencari-cari ayahku ingin membicarakan sesuatu kepadanya, sepertinya ada sesuatu yang sangat penting. Seusai ibuku berbicara kepada ayahku dan setelah kulihat keadaan ibuku mulai tenang. Aku bertanya kepada ibuku ada masalah apa sebenarnya? Akhirnya ibuku bercerita bahwa ia mimpi dirinya meninggal dunia, lalu ia berwasiat kepada ayahku bila kelak ia meninggal dunia, ia minta dimakamkan di tempat ibu mertuanya (nenekku). Dan ayahku menyetujuinya. Di kemudian hari –ia melanjutkan ceritanya- pada saat ia meninggal dunia, orang-orang mulai menggali makam nenekku untuk menempatkan jenazahnya di atasnya. Ketika makam nenekku mulai digali dan jasad nenekku mulai ditemukan tiba-tiba ada secercah cahaya besar terpantul nyaris membutakan mata, semua yang hadir saat itu berucap “Maa syaa Allah, maa syaa Allah,” ia (nenekku) benar-benar wanita shalihah.
Kemudian setelah itu jasadnya (Ibuku) diletakkan di atas jasad nenekku, tiba-tiba muncul kembali kilatan cahaya yang besar yang tidak didapati oleh manusia biasa, orang-orang yang hadirpun berucap lagi dengan nada yang tinggi, “Ma syaa Allah, ma syaa Allah”, wanita shalihah di atas wanita shalihah, ketika ibuku selesai menceritakan semua mimpinya. Tiba-tiba kami sama-sama menangis. Aku berkata dalam hatiku bahwasanya jika Allah ingin memberikan kepada seseorang derajat tertentu, maka Allah akan memberikan isyaratnya ketika masih hidup di dunia. Dan tanda-tanda yang berbeda dengan yang lainnya, tetapi kisah ini belum berakhir, sebab perlu diketahui keislaman ibuku belum sempurna, meskipun telah hafal Al-Qur’an dan berpuasa.
Pada bulan Ramadhan aku shalat Subuh sendirian, ayahku shalat di masjid sedangkan ibuku tengah khusyu menghafal Al-Qur’an. Sebelum shalat Subuh aku shalat sunnah terlebih dahulu, selesai shalat tiba-tiba ibuku memintaku mengajarkannya shalat. Betapa senangnya aku, tapi aku tak ingin menunjukkan kegembiraanku karena hal itu memang sudah kewajiban. Tetapi yang aneh di hari berikutnya ketika aku mengajaknya shalat Subuh ibuku sepertinya enggan, mungkin karena belum merasakan nikmatnya shalat. Secara logika tidak mungkin Allah menghalanginya dari kenikmatan shalat bila ia menyenanginya. Ibuku tidak pernah membaca Al-Qur’an di siang hari, sejak masuk Islam ia lebih memilih membaca Al-Qur’an di malam hari karena lebih khusyu’ dan tenang. Pada suatu malam ia membaca Al-Qur’an sampai pada salah satu ayat dalam surat Yunus yang berbunyi,
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Yunus: 61).
Setelah membaca ayat tersebut ia keluar dari kamarnya sambil menangis, tidak ada seorang pun di dekatnya waktu itu, kecuali penjagaan (ri’ayah) dari Allah swt. Kemudian ia teringat bahwa beberapa malam lalu ia bermimpi berada di satu tempat yang tidak diketahui apakah di bumi atau di langit, tempatnya terasa hampa dan sunyi. Lalu ia mendengar suara yang indah dan lirih berkata kepadanya, “Hai, Fulanah engkau menghafal Al-Qur’an tapi engkau hanya mendapatkan lelahnya saja, engkau butuh sesuatu yang dapat membuat hafalanmu membuahkan pahala, bila tidak maka apa yang engkau lakukan hanya banyak melelahkan diri saja.” Mimpinya pun berhenti sampai di situ. Ibuku terus menangis, ia tidak tahu apa yang harus diperbuat, ia mencoba bangun untuk shalat, tetapi kedua belah bibirnya terasa berat ketika membaca Al-Fatihah. Selesai shalat ia tetap terus menangis. Ia terus beristighfar dan bersumpah di hadapan Allah swt. dan berjanji tidak akan meninggalkan shalat lima waktu.
Setelah itu, alhamdulillah ibuku mulai tekun menunaikan shalat. Tidak hanya yang fardhu tetapi juga shalat sunnah lainnya. Tetapi kisah ibuku belum selesai, sebab ibuku belum mengenakan hijab (jilbab) dengan baik dan belum menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Aku menyadari ibuku yang baru dua tahun memeluk Islam tentu belum bisa menunjukkan keislamannya secara kaaffah, dibandingkan aku yang telah memeluk Islam sejak lahir. Aku berharap di masa mendatang akan bertambah kisah tentang kebaikan-kebaikan ibuku dalam menjalankan Islam secara sungguh-sungguh dan kaaffah. Aku yakin Allah Mendengar dan Maha mengabulkan harapan dan keinginan hamba-Nya. Amin yaa Mujiibasssaailiin.
Tim Kajian Manhaj Tarbiyah dakwatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar